Kampung dan Sebuah Nama
“Siapa nama you?”, Tanya seorang pria tegap berkulit putih.
“Namaku…, he..he.., apalah arti sebuah nama, coi”, jawabku dengan badan agak gemeter.
Kalo ai gak tahu nama you, gimana ai bisa manggil you, klo you gak ai panggil berarti you gak bisa masuk band ai donk, lugas pria tegap tersebut yang nampaknya adalah pemimpin sebuah band.
Dengan agak terpaksa aku harus menyebutkan namaku yang menurutku nama tersebut begitu memalukan untuk aku sebutkan, entah dari mana bapak dan ibuku mendapatkan nama tersebut dan mengikatnya kuat nama tersebut kepadaku, jika diingat-ingat lagi bapakku pernah bercerita klo ibu waktu hamil pernah bermimpi mengenai kampung halamannya yaitu di Surabaya selama tiga malam, saat itu ibu sangat ingin pulang ke Surabaya namun bapak yang saat itu sedang menjalankan tugas kerja tidak dapat meninggalkan kerjaannya, bapak bekerja sebagai manager perusahaan pembuat pakan ternak di kecamatan seririt, buleleng, bali. Padahal lebaran namun bapak harus bekerja sehingga ibu yang sedang hamil harus berada di rumah menunggu kedatangan bapak sambil menyiapkan masakan untuk malamnya, mereka tinggal di desa seririt, desa yang sanggat panas dan begitu ramai oleh pedagang-pedagang dan truk-truk serta kendaraan lainnya.
Bapak, kayaknya ibu dah mau lahiran nih tapi ibu maunya lahirannya di Surabaya pak, telpon ibu kepada bapak.
Gak bisa gitu bu, bapak lagi sibuk jadi gak bisa pulang ke Surabaya, ya udah sekarang bapak pulang, jawab bapak dari telpon.
Semenit kemudian bapak sampai di rumah dan ibu gak ada di rumah, “bu, ibu dimana?”, ternyata ibu sudah melahirkan tanpa bantuan siapa-siapa, dengan cepat bapak membawa ibu dan bayinya ke puskesmas terdekat, karena dianggap bayi tersebut begitu gagah tanpa ada yang membantu kelahirannya dan ibu yang kangen dengan kampong halamannya Surabaya maka bayi tersebut diberi nama Joko boyo, ya itulah namaku, nama yang aku sembunyikan namun selalu tak berhasil, menurutku nama tersebut terlalu kampungan, lihat saja nama bapakku adalah Sebastian, ibuku laura, dan adikku paula.
Setelah kelahiranku tersebut bapakku beralih profesi menjadi pengusaha tambak udang, sehingga setiap tahunna dapat pulang ke kampung Surabaya untuk hari raya lebaran, ketika aku lulus SMA, perusahaan ayah bangkrut dan ayah hanya mengandalkan makan dari tabungan dan usaha dari memelihara lele saja, sehingga tidak mampu membiaayai aku untuk kuliah karena untuk biaya adikku SMP, namun itu bukanlah masalah karena entah mengapa aku begitu ingin menjadi anak band, padahal aku mendapatkan beasiswa ke fakultas perikanan di jepang seperti bapakku dulu namun terlalu begitu besar mimpiku menjadi seorang anak band.
“ayah kalau bapak menyuruhku kuliah lagi aku akan lakukan untuk bapak”
“Lakukan apa yang menjadi cita-citamu dan impianmu, bapak akan mendukung”
Mendengar kata-kata bapakku, aku pergi ke kota besar denpasar untuk memulai karirku sebagai anak band.
“Namaku jo.. jo.. eh namaku Jeko”, jawabku pada ketu band tersebut, padahal ibuku selalu melarang untuk berbohong apalagi berbohong begitu lama, dengan perasaan bersalah aku menipu seluruh dunia dengan mengatakan bahwwa namaku jeko,
“nama you keren, ok lah besok you boleh bergabung dengan band ai” lugas ketua band tersebut, ketua band itu bernama alex, wajah dan logat bicaranya seperti orang inggris, kulitnya putih dengan ciri khas menggunakan topi seperti koboi kemanapun dia pergi, dia adalah vokalis sekaligus ketua band the koboi.
No comments:
Post a Comment